Kamis, 28 April 2011

Rayuan Petaka


Mama kehilangan seseorang paling di cintai seumur hidupnya, kehilangan Papa. Sudah wajar lah kalau memang Mama harus kehilangan bila Papa tutup usia. Tapi tidak untuk kehilangan Papa jatuh di pelukan wanita lain. Wanita yang merenggut kebahagiaan  keluargaku, memporakporandakan kebahagiaan tiga puluh lima tahun perjalanan cinta Papa dan Mama. Hanya wanita tak berhati nuranilah yang merenggut semua kebahagiaan rumah tangga orang lain. Dia.... dia, teman bisnis Papa yang baru dikenalnya enam bulan terakhir. Kini, Mama tinggal bersamaku dan keluarga kecilku, suami yang ku cintai dan seorang anak yang manis. Mama meghabiskan waktunya bermain bersama Lyra,anakku. Namun, tak jarang membuka dompetnya melihat foto yang masih terpajang di dalamnya, foto bersama Papa saat dulu. Dan Ia tersenyum. Bukan mencaci maki foto itu, justru memeluknya dan tersenyum. Kadang sambil mengatakan “Sayang kamu selamanya”. Terdengar seperti roman picisan. Tapi itu kenyataan. Dari jauh, aku hanya bisa meneteskan airmata kepedihan. Papa meninggalkan Mama demi wanita lain yang tak bermoral. Wanita yang memeras seluruh kekayaan Papa hingga semua usahanya berantakan. Yang kutahu, Papa hanya punya usaha bengkel mobil. Bengkel yang dari dulu merupakan penghasilan terburuk dari semua usahanya.
Suatu hari saat aku keluar dari kantor.
“Dian....” sebuah suara yang tak asing bagiku terdengar memelas di belakangku. Aku menghentikan langkahku, mencari sumber suara itu. Papa. Dengan kemeja coklat dan celana panjang berwarna coklat berlumur oli, Ia hadir di hadapanku. Layaklah aku berikan sebuah kata yang pantas buat orang didepanku ini. Gelandangan. Ya, seorang bos besar yang dulu berlimpahan harta dan mencampakkan istri yang menguatkannya kala Ia sedang tergoyahkan dan memberi senyuman ketika dia berwajah muram, kini hanyalah seorang gelandangan. Yang di sepak terjang oleh seorang wanita tak tahu malu dan selayaknya ku sebut pelacur. Terdengar sadis, tapi pantas. Bagaimana tidak, wanita yang lebih muda dari Mama itu hanya mengingini harta Papa saja, bukan cintanya, bukan juga karena keinginan untuk hidup bersama.
“Papa....” aku masih layak memanggilnya Papa, walau dalam hati ingin sekali aku menampar wajahnya. Kalau tidak ingat beliau adalah orangtuaku yang karenanya juga aku kini bisa memiliki perpustakaan dan toko buku, tak sekedar itu, beliau adalah suami dari seorang wanita yang telah melahirkanku. Maka pantaslah ku panggil Papa. Aku menghampirinya. Ku tatap matanya yang tersirat sebuah kemalangan nasib. Aku memeluknya. Teringat dulu waktu usiaku lima tahun dan menangis saat terjatuh dari sepeda, Papa juga memelukku. Ah, Papa... Aku sayang Papa walaupun telah meninggalkan kami.
Papa melepas pelukannya dariku.
“Nak...Jangan peluk Papa. Rasanya, tak pantas memeluk  lelaki brengsek yang meninggalkan keluarganya demi wanita setan itu.” Papa menundukkan kepalanya.
“Sebrengsek apapun lelaki itu, tak bisa di pungkiri bahwa Ia adalah bagian dari hidupku.” Papa mengangkat kepalanya menatapku. Lima menit kami terdiam. Berkutat dengan pikiran masing-masing. Menerka isi hati di antara kami. Melalangbuana, bebas tak terbatas pada hitam atau putih. Sama-sama menundukkan kepala.
“Pa, ingat rumah makan di dekat alun-alun kota? Dian mau ajak Papa makan di sana. Sepertinya, sudah bisa dikatakan jam makan.” Tawarku pada Papa.
“Ah, tak usah Nak... Papa Cuma merepotkan mu saja. Papa menyesal telah menelantarkan kalian. Kadang, Papa berpikir kenapa hidup Papa berantakan seperti ini.”
“Kita bicarakan saat makan saja Pa.” Aku meninggalkan Papa sebentar menuju parkiran. Kami menuju rumah makan di dekat alun-alun kota. Di rumah makan ini lah semua kenangan keluargaku tercatat. Di rumah makan ini, perkenalan kedua orangtuaku di mulai. Saat mereka sedang makan bersama geng-nya masing-masing dan ternyata beberapa di antara mereka saling kenal. Ya, kisah cinta berlangsung di antara orangtuaku. Di tempat ini juga terselenggara acara keluarga besarku, biasanya  natal atau tahun baru bahkan saat ulangtahun pun di rayakan di rumah makan ini. Aku ingin Papa merasakan betapa beruntungnya beliau memiliki kami. Kami menuju meja yang selalu menjadi meja favorit keluarga. Agak dekat dengan kasir dan dekat kolam ikan kecil dengan hiasan batu yang di tata di pinggirnya serta di hiasi jejeran bunga-bunga perdu di sekitarnya.
“Tempat ini, akan sangat berarti buat Papa. Tentunya Mama mu sangat senang ada di sini.
Kamu lihat piano di pojok sana?” Papa mengarahkanku menunjuk sebuah piano di ujung rumah makan ini.
“Kenapa piano itu?”
“Dulu , Mama mu senang memainkan piano itu. Lagu yang paling di sukainya adalah Yesterday, itu lagu tua,lagu yang selalu Mama mu mainkan tiap kali kami kemari. Hhh .. Dian.” Papa mengelus jemariku yang memegang secangkir coklat hangat di meja. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Beruntung memiliki wanita seperti Mama mu.” Kembali Papa menunduk. Papa, kenapa baru sekarang terlintas di benakmu tentang itu, tentang Mama yang selalu mengerti dirimu. Setelah kau sudah kehilangan hartamu, setelah wanita jalang itu berhasil menggerogoti hartamu. Dasar kau wanita rayap. Andai saja aku bertemu denganmu wanita setan, ku sobek seluruh wajahmu itu. Ah, Dian. Apa yang kau pikirkan.Biarkan dia bersenang-senang dengan hartanya itu dan pastikan bahwa tak pernah sekalipun Ia tenang akan hidupnya.
“Dian ingin Papa pulang ke rumah. Mama menunggu dan masih mencintai Papa seperti dulu. Terlalu banyak waktu yang terbuang untuk kembali mewarnai hidup bersama. Masih ada waktu untuk kita memperbaiki rajutan yang terkoyak silet.” Papa terdiam lagi. Menatap piano di pojok sana dalam-dalam. Entah apa yang di pikirkannya. Mungkin jawaban Ya, mungkin juga Tidak. Kenapa aku selalu menerka isi kepala orang? Terlalu sok tahu, aku ini.
 Ah, Dian!! Berhentilah menerka-nerka. Antisipasi kekecewaanmu jika ekpektasimu terlalu berlebihan akan orang lain. Biar orang lain menentukan pilihannya sendiri, toh dia sudah tahu apa yang harus dan tidak dilakukan. Atau. Jangan-jangan pertanyaanmu ini semakin membuatnya bimbang? Hentikan Dian, hentikan membuat hati orang semakin galau dan membuatnya kehilangan arah.
“Lebih baik Papa tak kembali ke rumah,Nak.. hidup kalian akan semaikn kacau jika saja bajingan ini masuk rumah kalian.” Papa bercerita bahwa Ia di tipu mentah-mentah oleh rekan bisnisnya, wanita yang telah merayu Papa untuk meninggalkan Mama, wanita itu. Papa menghela nafas panjang. Kemudian beranjak dari tempat duduknya.
“Terima kasih buat jamuan makan malamnya.Papa pergi dulu. Mohon jangan beritahu Mama kalau kita bertemu. Jangan buat Mama mu sedih dengan pertemuan ini,ya Nak.” Papa berlalu dari hadapanku. Ku  temani kepergian Papa dengan mengikuti punggungnya menghilang dai pandangku.
Romantisme cinta kedua orangtua ku kini ternyata menjadi kutukan salah sasaran, oh bukan salah sasaran. Hanya saja, aku benci kalau kutukan romantisme itu berlabuh pada keluargaku. Seandainya dunia cukup adil memusnahkan wanita setan itu dari muka bumi ini, tak masalah. Itu yang paling kuharapkan. Mama tak pantas berduel dengan wanita jalang itu.
Setibanya di rumah, perasaan miris meronta dalam hatiku. Mama kembali mengucurkan airmata dikamarnya, memeluk secarik potret. Tak perlu ku tebak, karena sudah pasti itu potret suami yang di cintainya. Mama, tolonglah berhenti menangis. Papa mencintaimu sampai kapanpun. Dia tak lagi bersama wanita itu. Jangan tangisi lagi. Mama meratap, bersenandung. Sesekali meraung keras, kemudian rauangannya terdengar sayup-sayup. Diam. Menangis lagi. Keras semakin keras. Menghujam jantungku.
“Ma.” Aku mendekatinya di tepi tempat tidurnya. Tak dijawab. Aku maklum. Membiarkannya berkelana dalam potret itu. Mencari esensi cinta yang terselubung dalam potret itu. Haruskah kuberitahu Papa tentang Mama? Kemana harus ku cari Papa? Semua semakin kacau, keadaan ini runyam. Ku peluk tubuh Mama yang berak-gerak karena menangis. Tuhan, mengapa Mama menjadi begini? Setelah Papa meninggalkan kami, akan kah Kau renggut sisa kebahagiaan ku atas keberadaan orangtua? Mama bernafas, bernyawa, namun masih bisa kah kukatakan hidup kalau ku sentuh pun tak di gubrisnya.
“Mama, Lyra ngantuk.” Sayup-sayup ku dengar suara anak kecil bernada manja sambil menarik-narik bajuku. Aku terlelap di samping Mama. Aku lupa, anak ku kutinggalkan bermain sendiri di kamarku. Ku lirik jam di samping tempat tidur Mama. Jam sembilan malam. Pantaslah anakku sudah mengantuk.
“Papa mana?” tanyaku pada Lyra sambil menggendongnya. Lyra menggeleng. Kemana suamiku? Jam segini harusnya sudah di rumah. Aku kembali ke kamarku, merapikan tempat tidur buat Lyra. Setelah ku temani Lyra tidur, aku beranjak menuju ruang kerja suamiku. Ah, di sini ternyata. Syukurlah tidak sedang dalam pelukan wanita lain.
“Kamu darimana?” Ia menghentikan pekerjaannya dan menemaniku duduk di sofa di ruangannya. Ia memelukku. Membelai-belai rambutku.
“Dari kamar Mama. Ingin rasanya ku bunuh wanita jalang itu. Mama sudah kehilangan hidupnya,Ger. Kamu lihat sendiri, sudah tak mau makan tak mau bicara pada kita pula. Potret Papa terus yang di tangisi.”
“Aku tahu,Yan.. apa yang harus kita lakukan selain menemaninya. Kalaupun kita ajak Mama bicara, pasti tak akan dihiraukan. Apa baiknya... kita bawa ke Rumah Sakit Jiwa saja?” Aku tersentak mendengar perkataan suamiku. Rumah sakit jiwa? Mama bukan orang gila, atau..entahlah. Tidak. Tak akan pernah kubiarkan Mama menginjakkan kaki di rumah sakit jiwa. Tak boleh!! Aku terdiam. Pedih rasanya ada di situasi seperti ini. Papa pergi. Mama seakan tak hidup. Aku menangis di pelukkan suamiku. Mencengkram tubuhnya kuat-kuat sambil memeluknya. Gery, jangan sampai kau buatku gila karena pergi dengan wanita lain. Cukuplah aku yang memberimu kehangatan, jangan kau minta wanita lain yang memberinya. Dan, Mama masih tersayat-sayat luka yang Papa goreskan di hatinya. Tak pernah ku sangka akan jadi begini kisah cinta mereka. Kepalaku sakit. Ya sudah, kita tidur disini saja, sayang.
Ketika aku terbangun dalam pelukan Gery, aku teringat Mama. Aku berniat menemui Mama di kamarnya. Kosong. Mama tidak ada. Ku cari di seluruh ruangan yang ada di rumah. Mama tidak ada.
“Gery..” muka ku pucat pasi mendapatkan Mama tak di rumah. Aku membangunkan Gery dengan paksa. Aku mulai panik. Dimana Mama? Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Kami mencari Mama di sekitar kompleks rumah. Sia-sia. Kami putus harapan. Khawatir akan keberadaan Mama yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangan kami. Tuhan, dimana Mama? Hancur hati ini tak bisa menjaga Mama. Tak mampu memeluk Mama ketika membutuhkan pelukan dari orang-orang terdekatnya. Papa. Dimana harus kutemukan Papa? Atau jangan-jangan mereka telah bertemu? Kalaupun bertemu, bertemu dimana? Aku benar-benar bingung. Entahlah mungkin hanya kekalutanku saja. Bagaimana tidak kalut, kedua orangtuaku minggat dari rumah mereka sendiri. Telepon rumahku berdering.
“halo..”
“selamat pagi. Benar ini kediaman Bu Dian?” suara seorang lelaki di ujung sana.
“ ya saya sendiri.... ada apa,Pak?” lelaki itu menyuruhku datang pada sebuah alamat perkantoran. Segera aku dan Gery bergegas mencari alamat itu. Cukup jauh jaraknya dari rumahku. Menghabiskan satu jam perjalanan untuk menemukan alamat itu. Ada garis polisi? Ada apa ini? Aku tak mengenal kantor siapa ini? Seorang polisi paruh baya menghampiri kami dan mengajak kami melihat potret yang di ambil di sebuah ruangan di gedung ini. Dua orang wanita dan seorang pria berdarah-darah terkapar di lantai.. Lelaki usia enam puluh-an juga dengan pakaian compang-camping bercampur oli dan darah terbujur kaku. Seorang wanita berusia kira-kira lima puluh-an terkapar bersama kepicikannya. Seorang wanita usia enam puluh-an berambut pendek dan lurus terkapar sambil memegang pisau. Terjawab sudah kepergian Mama pagi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar